0 Comments
ALIRAN-ALIRAN KLASIK DALAM PENDIDIKAN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMIKIRAN PENDIDIKAN DI INDONESIA 1. Aliran-aliran Pendidikan a. Aliran Empirisme Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulsi Eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diproleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alm bebaqs ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk pendidikan. Tokoh perintisnya adalah John Locke. Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung. b. Aliran Nativisme Aliran Nativisme bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil prkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap dan pendidikan anak. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. c. Aliran Naturalisme Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau. Rosseau berpendapat bahwa semua anak baru dilahirkan mempunyai pembawaan buruk. Pembawaan baik akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak pembawaan baik anak itu. Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Aminuddin R., 1992: 9), yaitu: • Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya secara alami. • Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan se¬bagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri anak didik sendiri. • Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyedia¬kan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya. Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses belajar-mengajar. d. Aliran Konvergensi Aliran Konvergensi dipelopori oleh Wlliam Stern, ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dumia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu. aliran Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan. Pengaruh Aliran Klasik terhadap Pemikiran dan Praktek Pendidikan di Indonesia Di indonesia telah di terapkan berbagai aliran-aliran pendidikan, penerimaan tersebut dilakukan dengan pendekatan efektif fungsional yakni diterima sesuai kebutuhan, namun ditempatkan dalam latar pandangan yang konvergensi. 2. Gerakan Baru Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Pelaksanaan di Indonesia a. Pengajaran Alam Sekitar Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar,perintis gerakan ini adalah Fr. A. Finger di Jerman dengan heimatkunde, dan J. Ligthart di Belanda dengan Het Voll Leven. b. Pengajaran Pusat Perhatian Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovideminat Decroly dari Belgia dengan pengajaran melalui pusat-pusat minat, disamping pendapatnya tentang pengajaran global. Decroly menyumbangkan dua pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran, yaitu:Metode Global dan Centre d’interet. c. Sekolah Kerja Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. J.A. Comenius menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa, dan tangan. J.H. Pestalozzi mengajarkan bermacam-macam mata pelajaran pertukaran di sekolahnya. d. Pengajaran Proyek Pengajaran proyek biasa pula digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia, antara lain dengan nam pengajaran proyek, pengajaran unit, dan sebagainya. Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk memandang dan memecahkan persoalan secara konprehensif. Pendekatan multidisiplin tersebut makin lama makin penting, utamanya masyarakat maju. DUA ALIRAN POKOK PENDIDIKAN DI INDONESIA Dua aliran pokok pendidikan di Indonesia itu di Indonesia itu dimaksudkan adalah Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam. Kedua aliran tersebut dipandang sebagai tonggak pemikiran tentang pendidikan di Indonesia. 1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa Perguruan Kebangsaan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1932 di yogyakarta, yakni dalam bentuk yayasan. a. Asas dan Tujuan Taman Siswa Asas Taman Siswa • Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dengan terbitnya persatuan dalam peri kehidupan umum. • Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir dan batin dapat memerdekan diri. • Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri. • Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat. • Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka harus mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan. • Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keiklasan lahir dan batin untuk mengobarkan segala kepentinganpribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak. • Kemudian ditambahkan dengan asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan. Tujuan Taman Siswa • Sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib dan damai. • Membangun abak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin, luhur akal budinya, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. b. Upaya-upaya yang dilakukan Taman Siswa Beberapa usaha yang dilakukan oleh Rtaman siswa adalah menyiapkan peserta didik yang cerdas dan memiliki kecakapan hidup. Dalam ruang lingkup eksternal Taman siwa membentuk pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan. c. Hasil-hasil yang Dicapai Taman siswa telah berhasil menemukakan gagasan tentang pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan dari Taman indria sampai Sarjana Wiyata. Taman siswa pun telah melahirkan alumni alumni besar di Indonesia. 2. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam Ruang Pendidik INS (Indonesia Nederlandsche School) didirikan oleh Mohammad Sjafei pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayu Tanam (sumatera Barat). a. Asas dan Tujuan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam Pada awal didirikan, Ruang Pendidik INS mempunyai asas-asas sebagai berikut : • Berpikir logis dan rasional • Keaktifan atau kegiatan • Pendidikan masyarakat • Memperhatikan pembawaan anak • Menentang intelektualisme Dasar-dasar tersebut kemudian disempurnakan dan mencakup berbagai hal, seperti: syarat-syarat pendidikan yang efektif, tujuan yang ingin dicapai, dan sebagainya. Tujuan Ruang pendidik INS Kayu Tanam adalah: • Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan • Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat • Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat • Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab. • Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan. b. Upaya-upaya Ruang Pendidik INS Kayu Tanam Beberapa usaha yang dilakukan oleh Ruang Pendidik INS Kayu Tanam antara lain menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, menyiapkan tenaga guru atau pendidik, dan penerbitan mjalah anak-anak Sendi, serta mencetak buku-buku pelajaran. c. Hasil-hasil yang Dicapai Ruang Pendidik INS Kayu Tanam Ruang Pendidik INS Kayu Tanam mengupayakan gagasan-gagasan tentang pendidikan nasional (utamanya pendidikan keterampilan/kerajinan), beberapa ruang pendidikan (jenjang persekolahan), dan sejumlah alumni. SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA 1. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu. 1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs) Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu: Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. a) Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818. b) Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun. c) Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah a) Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892. b) Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907. c) Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914. d) Sekolah Peralihan (Schakelschool) Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS. 2. Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah a) MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun. b) AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling= bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA. c) HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa Barat, khususnyairikan pada belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860 d) Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs ) Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut: a) Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881 b) Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu c) Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur. d) Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat. e) Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang lamanya belajar 3 tahun. f) Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs). g) Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun. h) Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu: • Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah. • Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa belanda. • Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS. • Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs) Karena terdesak oleh kebutuhan tenaga ahli, maka didirikanlah: a) Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School). Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB. b) Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school). RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang tama AMS dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan. c) Pendidiakn tinggi kedokteran. Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa melayu . pada tahun 1902 sekolah dokter jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS dan HBS. 3. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan prakti pendidikan tertentu. Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan cirri-ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu: a. System Dualisme Dalam system dualisme diadakan garis pemisahan antara system pendidikan untuk golongan Eropa dan system pendidikan unutk golongan bumi putra. Jadi disini diadakan garis pemisah sesuai dengan politik colonial yang membedakan antara bumi putra dan pihak penjajah. b. System Korkondasi System ini berarti bahwa pendidikan didaerah penjajahan disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. System ini diasumsikan bahwa dengan System yang berkrkondasi dengan system yang ada di negeri Belanda, maka mutu pendidikan terjamin setingkat pendidikan di Negara Belanda. c. Sentralisasi Kebijakan pendidikan dizaman colonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen ini yang mengatur segala sesuatu mengeani pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar. d. Menghambat gerakan Nasional Pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk masyarakat pribumi putra untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi. Didalam kurikulum pendidikan colonial pada waktu itu, misalnya sangat dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda. e. Perguruan swasta yang militer Salah satu perguruan swasta yang gigih menentang kekuasaan colonial adalah seolah-olah taman siswa yang didirikan oleh kihajar dewantara tanggal 3 juli 1922. f. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara usaha pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang terus menerus dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan orang Belanda. Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan Belanda, yaitu ; a. Dualisme Dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan untuk yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan melanjutkan dan tidak memeberi kesempatan. b. Gradualisme Gradualisme dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk anak Indonesia. c. Prinsip Konkordansi Prinsip yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti model sekolah Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan Indonesia. d. Control sentral yang kuat Yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan perubahan kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di negeri Belanda. e. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis Menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam sekolah menurut keadaan zaman. f. Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah. Penyelenggaraan dan penerimaan murid didasarkan atas kebutuhan pemerintah Belanda dalam tenaga kerja. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: 1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; 2. Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; 3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa. 4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia. 4. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Jepang Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi. Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya. Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (6) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan. Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (5) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (6) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan. 5. Sejarah Pendidikan Indonesia jaman Orde Baru Dasar Hukum Pendidikan orde baru : a. Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966, bab II pasal 3. tujuan pendidikan Nasional Indonesia dimaksudkan untuk membentuk manusia pancasila yang sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945. Pembentukan manusia pancasila sejati diperlukan untuk mengubah mental masyarakat yang sudah banyak mendapat doktrinasi Manipol-Usdek pada zaman orde lama. Pemurnian semangat pancasila dalam masyarakat dianggap jaminan tegak berdirinya orde baru. Dalam pasal 4 ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS /!966 , isi pendidikan adalah untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan . isi pendidikan : • mempertinggi mental , moral , budi pekerti , dam memperkuat keyakinan beragama. • Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan • Membina atau mengembangkan fisik yang kuat dan sehat b. Ketetapan no. IV /MPRS/1973 mengeluarkan garis-garis besar haluan Negara(GBHN) yang merumuskan tujuan pendidikan nasional adalah : Pendidikan hakikatnya adalah usaha sadar untukl mengembangkan kepribadian dan kemampuan dalam dan luar sekolah dan berlangsung seumur Hidup. Tanggung jawab pendidikan terdapat di keluarga, masyarakat dan pemertintah. Pembangunan pembagunan di bidang pendidikan didasarkan pada falsafah Negara pancasila yang diarahkan untuk membentuk manusia –manusia pembangunan yang ber-pancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat dan jasmani dan rohaninya memiliki ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa , dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai akal budi pekerti yang luhur , mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam UUD 1945. c. TAP MPR NO. IV /MPR/1978 tentang tujuan pendidikan dalam GBHN Pendidikan nasional berdasarkan penghayatan dan pengalaman pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat dengan pendidikan moral pancasila dan nilai-nilai 1945 yang dimaksukkan dalam kurikulum, Pendidikan seumur hidup, Sistem pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan dan peraturan perguruan tinggi bermutu dan berkualitas. Peningkatan Mutu Pendidikan Umum Dilakukan melalui dua langkah dasar yaitu : 1. Peningkatan Mutu Guru • Mencakup juga mengenai hal penataan ulang terhadap system pendidikan guru pra jabatan, dari system lama yang bersifat multi-strata ke system baru yang bersifat uni-strata. Kalau dahulu untuk menjadi calon guru SD harus di lakukan minimal menuntaskan sekolah menengah atas dan calon guru SLTP harus menuntaskan pendidikan di perguruan tinggi mak pada sisitim yang baik baik para calon guru SD ataupun SLTP harus sama-sama dipersiapkan di lembaga pendidikan taraf perguruan tinggi. Bedanya disini para calon guru SD mendapat pendidikan pra-jabatan degan taraf D-II, sedangkan para calon guru SLTP mendapatkan pendidikan pra-jabatan sampai dengan taraf D-III. Dan untuk guru SMU harus mendapatkan pendidikan pra-jabatan sampai dengan taraf S-I atau S-II. • Penataran untuk meningkatkan mutu guru di selenggarakan untuk setiap mata pelajaran. Program-program penataran ini pada akhirnya melahirkan lembaga-lembaga penataranyang permanen yaitu PPPG ( Pusat Pengembangan Penataran Guru ) dan BPG (Badan Penataran Guru).sejak tahun 1977 (Pelita I ) sampai dengan tahun1991 ( Pelita V) telah didirikan 6 PPPG untuk meningkatkan mutu pendidikan umum dan 4 PPPG kejuruan untuk meningkatkan mutu pendidikan kejuruan. 2. Peningkatan Mutu Kurikulum Pembaharuan kurikulum dari tingkat SD sampai dengan SMU dmulai pada tahun 1968 dan selesai pada tahun 1975. Penyempurnaam kurikulum 1975 utuk SD, SMP, dan SMA, serat kurikulum 1976 untuk sekolah-sekolah kejuruan (SMEP, SMEA, SKKP, SKKA, ST, STM, SPG). Kurikulum 1975 pada sekolah menengah pertama dibagi dalam 3 kelompok yaitu: • pendidikan umum meliputi pendidikan agama,pendidikan moral pancasila, olah raga, dan kesehatan. • Pendidikan kesenian • Pendidikan akademis meliputi bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa inggris, ilmu pengertahuan social, matematika, ilmu pengetahuan alam dan pendidikanm keterampilan. Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini (masa orde Baru), meliputi: 1) Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah. 2) Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing. 3) Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin. 4) Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global 5) Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp. 400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp. 4.000,-/anak/tahun. 6) Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh. 7) Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah. 8) Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika. 9) Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif. Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni: • Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik. • Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global. • Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif. • Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair • Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis • Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah • Cendekiawan yang hipokrit, • Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan • Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya. • Pemimpin-pemimpin daerah yang ebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis. Pendidikan pada Era reformasi 1) Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan soulusi 2) Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari system pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidakkompetetip hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah system pendidikan secara radikal juga punya problem,yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari system pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus. 3) Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah system pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba system di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru –yang digugu dan ditiru- seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya doctor dan professor bidang pendidikan tetapmengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan system pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balikmeja berpedoman kepada teori-teori Barat.. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya. 4) Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan. 5) Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan. 6) Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda. 7) Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan Negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informaldan non formal. Pada satu titiknanti, gelar-gelar akademik juga tidaklagi relefan. A Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya : 1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike. Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
4. Social Learning menurut Albert Bandura Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan. B.Teori Belajar Kognitif menurut Piaget Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation” Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik. D. Teori Belajar Gestalt Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
Aliran-aliran pendidikan telah dimaulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalm kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai kini. Oleh karena itu bahasan tersebut hanya dibatasi pada beberapa rumpun aliran klasik, pengaruhnya sampai saat ini dan dua tonggak penting pendidikan di Indonesia.
1. Aliran-aliran Klasik dalam Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Pendidikan di Indonesia. 1. Aliran Empirisme Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulsi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diproleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alm bebaqs ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk pendidikan. Tokoh perintisnya adalah John Locke. 2. Aliran Nativisme Aliran Nativisme bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil prkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap dan pendidikan anak. 3. Aliran Naturalisme Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau. Rosseau berpendapat bahwa semua anak baru dilahirkan mempunyai pembawaan buruk. Pembawaan baik akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak pembawaan baik anak itu. 4. Aliran Konvergensi Aliran Konvergensi dipelopori oleh Wlliam Stern, ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dumia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu. 5. Pengaruh Aliran Klasik terhadap Pemikiran dan Praktek Pendidikan di Indonesia Di indonesia telah di terapkan berbagai aliran-aliran pendidikan, penerimaan tersebut dilakukan dengan pendekatan efektif fungsional yakni diterima sesuai kebutuhan, namun ditempatkan dalam latar pandangan yang konvergensi. 2. Gerakan Baru Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Pelaksanaan di Indonesia 1. Pengajaran Alam Sekitar Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar,perintis gerakan ini adalah Fr. A. Finger di Jerman dengan heimatkunde, dan J. Ligthart di Belanda dengan Het Voll Leven. 2. Pengajaran Pusat Perhatian Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovideminat Decroly dari Belgia dengan pengajaran melalui pusat-pusat minat, disamping pendapatnya tentang pengajaran global. Decroly menyumbangkan dua pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran, yaitu:Metode Global dan Centre d’interet. 3. Sekolah Kerja Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. J.A. Comenius menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa, dan tangan. J.H. Pestalozzi mengajarkan bermacam-macam mata pelajaran pertukaran di sekolahnya. 4. Pengajaran Proyek Pengajaran proyek biasa pula digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia, antara lain dengan nam pengajaran proyek, pengajaran unit, dan sebagainya. Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk memandang dan memecahkan persoalan secara konprehensif. Pendekatan multidisiplin tersebut makin lama makin penting, utamanya masyarakat maju. B. TEORI-TEORI PENDIDIKAN
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien. Itu berarti, kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna dan yang tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu menunjukkan adanya hubungan kuat antara stimulus dan respons.Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut: a. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness) Hukum ini memberikan keterangan mengenai kesiapan seseorang merespons (menerima atau menolak) terhadap suatu stimulan. Pertama, bila sese¬orang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak akan melakukan tingkah laku lain. Contoh, peserta didik yang sudah benar-benar siap menempuh ujian, dia akan puas bila ujian itu benar-benar dilaksanakan. Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan ting¬kah laku lain untuk mengurangi kekecewaan. Contoh peserta didik yang sudah belajar tekun untuk ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung melakukan hal lain (misalnya: berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan kekecewaannya. Ketiga, bila seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut. Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan tes. Keempat, bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan tetap tidak melakukannya, maka ia akan puas. Contoh, peserta didik akan merasa lega bila ulangan ditunda, karena dia belum belajar. b. Hukum Latihan (The Law of Exercise) Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of use), dan hukum bukan penggunaan (the law of disuse). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons akan makin kuat. Sedangkan hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan semakin melemah jika latihan dihentikan. Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin sering suatu pelajaran diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk dikuasai. c. Hukum Akibat (The Law of Effect) Hubungan stimulus-respons akan semakin kuat, jika akibat yang ditimbulkan memuaskan. Sebaliknya, hubungan itu akan semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan akibat yang menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi jika akibatnya tidak menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (pun¬ishment). Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya. 2. Teori Classical Conditionins Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya adalah tentang condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov menggunakan anjing sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan makanan dan isyarat bunyi, dengan asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulan berdasarkan kebiasaan. Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di balik bunyi itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori belajar. Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut: a. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/ mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah. b. Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan. c. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/individu. d. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak. e. Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi. 3. Teori Operant Conditionins Teori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. la membedakan tingkah laku responden, yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas. Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena melihat daging. Operant Behavior adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri, dan belum tentu dikehendaki oleh stimulus dari luar. Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena kucing itu lapar, bukan karena melihat daging (Sri Rumini, 1993: 75-76). Sesuai dengan dua tingkah laku tersebut, ada dua macam kondisi, yaitu: Pertama, Respont Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe S, karena menitikberatkan pada sti¬mulus. Hal ini sama dengan kondisi yang dikemuka¬kan oleh Pavlov. Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe R, karena menitikberatkan pada pentingnya respons. Menurut Skinner, ada dua prinsip umum dalam kondisi ini, yaitu: • Setiap respons yang diikuti stimulus yang memperkuat reward (ganjaran), akan cenderung diulangi. • Stimulus yang memperkuat reward akan meningkatkan kecepatan terjadinya respons operant. Dengan kata lain, reward akan mengakibatkan diulanginya suatu respons. Setelah melakukan eksperimen berulang-ulang, Skinner berkesimpulan bahwa mula-mula dalam jangka pendek, baik hukuman maupun hadiah, mempunyai efek mengubah dan menaikkan tingkah laku yang dikehendaki. Namun dalam jangka panjang, hadiah tetap berefek menaikkan, sedangkan hukuman justru tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah dan hukuman tidak simetris. 4. Teori Gestalt Max Wertheimer adalah psikolog Jerman yang menjadi tokoh teori ini. Penemuan teori gestalt bermula ketika Wertheimer melihat cahaya lampu yang berkedap-kedip saat naik kereta api pada jarak tertentu. Sinar itu memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak datang-pergi dan tidak terputus. Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, kedudukan kognisi tidak seimbang sampai problem itu terpecahkan. Kognisi yang tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari keseimbangan sistem mental. Menurut gestalt, problem merupakan stimulus sampai didapat suatu pemecahannya. Organisme atau individu akan selalu berpikir tentang suatu bahan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai bentuk respons dari stimulus yang berupa masalah tadi. Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya. Teori Gestalt dengan metode globalnya juga sangat berpengaruh dalam metode membaca dan menulis. Metode yang resmi digunakan dengan mengacu teori ini dikenal dengan istilah S.A.S (Struktural, Analitis, dan Sintesis). Metode ini dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Proses mengajarnya adalah sebagai berikut: a. Pada permulaan sekali, anak dihadapkan pada cerita pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Karena itu, dengan mudah anak akan segera dapat membaca seluruhnya dengan menghafal. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkan. b. Menguraikan cerita pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah menunjukkan bahwa cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat. Antarkalimat diberi warna yang berbeda, dan antarkalimat diberi jarak yang cukup renggang. c. Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda, terpisah, dan ditulis agak berjauhan. Susunan tiap kata ditulis semakin menurun dan dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata. d. Memisahkan kata menjadi suku kata. e. Memisahkan suku kata menjadi huruf, dan tiap hurufnya ditulis dengan warna yang berbeda. f. Setelah mengenal huruf, peserta didik diajarkan menyusun suku kata; suku kata menjadi; dan kata menjadi kalimat. Kebaikan metode ini adalah peserta didik bisa belajar secara alamiah, sesuai dengan prinsip persepsi gestalt. Pelajaran itu menarik, tidak menjemukan, karena dimulai dengan cerita dan kalimat-kalimat yang mengandung arti. Metode ini sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tidak mengganggu, serta tergantung pada proses persepsinya masing-masing. Peserta didik membaca dengan memahami isinya dan akhirnya murid lebih cepat menguasai pembacaan yang sebenarnya. 5. Teori Medan (Field Theory) Lingkungan dipandang sebagai gejala yang saling memengaruhi. Teori medan memandang bahwa tingkah laku dan atau proses kognitif adalah suatu fungsi dari banyak variabel yang muncul secara simultan (serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa mengubah basil keseluruhan. Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dalam suatu waktu ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan sesuatu yang berpengaruh pada tingkah laku, termasuk marah, ingatan kejadian masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi pengaruh positif atau negatif pada tingkah laku seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan menentukan tingkah laku seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam suatu pengaruh perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud dengan teori medan dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101). Teori medan merupakan perkembangan dari teori gestalt. Berikut penerapan teori medan dalam proses belajar-mengajar. a. Belajar adalah perubahan struktur kognitif (pengetahuan) Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan. b. Peranan hadiah dan hukuman Hadiah dan hukuman merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi dalam penggunaannya memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi peserta didik pada umumnya merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi, tugas-tugas dalam belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya dianggap sebagai hukuman yang membebani dan kurang menarik. c. Masalah sukses dan gagal Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dibanding hadiah dan hukuman. Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat intrinsik, kita akan lebih tepat mengatakan bahwa suatu tujuan berhasil atau gagal dicapai daripada mengatakan bahwa suatu tujuan mengandung hadiah dan hukuman. Pengalaman sukses dapat diperoleh melalui beberapa hal: 1) Pengalaman sukses dialami bila seseorang benar-benar mendapatkan apa yang diinginkannya. Misalnya, seseorang yang ingin lulus dalam suatu program tertentu, kemudian ternyata memang lulus. 2) Pengalaman sukses juga dialami bila sese¬orang sudah berada di dalam daerah tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, orang dikatakan lulus dalam suatu program bila tinggal mengulang beberapa mata kuliah saja. 3) Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah membuat suatu kemajuan ke arah tujuan yang akan dicapai. Misalnya, orang merasa berhasil kalau telah mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi ujian. 4) Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah berbuat dengan cara yang oleh masyarakat dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, seseorang merasa suk¬ses bila pada waktu ujian keluar paling awal. Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal. d. Taraf Aspirasi Pengalaman sukses dan gagal bersangkutan dengan taraf aspirasi seseorang. Untuk itu, dalam mencapai sesuatu, setiap orang perlu merumuskan tujuan meskipun masih bersifat sementara, sehingga ketika ia berada di daerah tujuan sementara tersebut, ia akan merasa berhasil. e. Pengulangan dapat menimbulkan kejenuhan psikologis. Sebagai penerus dan penyempurna aliran gestalt, Kurt Lewin berpendapat bahwa yang diperoleh pertama pada saat belajar adalah pencerahan (insight), sedangkan pengulangan memiliki kedudukan sekunder. Memang untuk mencapai pencerahan memerlukan pengulangan, tetapi kuantitas pengulangan bukan yang menentukan insight. Justru ulangan yang terlalu banyak akan menimbulkan kejenuhan psikologis, yang mengakibatkan terjadinya diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya belajar dari pemecahan masalah. 6.TeoriHumanistik Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers adalah tiga tokoh utama dalam teori bela¬jar humanistik.Berikut uraian pandangan mereka. Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya. Pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui bagaimana peserta didik memersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja ti¬dak aneh bagi orang lain. Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil. Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh psikologi humanistik. Karyanya di bidang ini berpengaruh dalam upaya memahami motivasi manusia. la menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh sekaligus ke-kuatan yang menghambat. Suwardi (2005: 54), mengutip pendapat Mas¬low, mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap manusia yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai dari kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut adalah. a. Kebutuhan jasmaniah b. Kebutuhan keamanan c. Kebutuhan kasih sayang d. Kebutuhan harga diri e. Kebutuhan aktualisasi diri Menurut ahli teori ini, hierarki kebutuhan manusia tersebut mempunyai implikasi penting bagi individu peserta didik. Oleh karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa persoalan pribadi, cemas atau takut, akan memiliki daya motivasi yang tidak optimal, sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan mengganggu kon¬disi ideal yang dia butuhkan. Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanis yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. la menyarankan adanya suatu pendekatan yang berupaya menjadikan belajar dan mengajar lebih manusiawi. Menurut Sri Rumini (1993: 110-112), gagasan itu adalah: a. Hasrat untuk belajar Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan. Perhatikan saja, betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan ingin tahu dan belajar merupakan asumsi dasar pendidikan humanistis. Di dalam kelas yang humanistis, peserta didik diberi kebebasan dan kesempatan untuk memuaskan dorongan ingin tahu dan minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya bisa memuaskan kebutuhannya. Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, di mana seorang pendidik atau kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran. b. Belajar yang berarti Prinsip ini menuntut adanya relevansi antara bahan ajar dengan kebutuhan yang diinginkan peserta didik. Anak akan belajar jika ada hal yang berarti baginya. Misalnya, anak cepat belajar menghitung uang receh karena uang tersebut dapat digunakan untuk membeli barang kesukaannya. c. Belajar tanpa ancaman Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar ketika peserta didik dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru, atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang menyinggung perasaannya. Jika kenyamanan sudah dia dapatkan, pembelajaran pun akan menjadi kondusif. Anak tidak merasa tertekan dan pendidik dianggapnya sebagai fasilitator yang menyenangkan. d. Belajar atas inisiatif sendiri Bagi para humanis, belajar akan sangat bermakna ketika dilakukan atas inisiatif sendiri. Peserta didik akan mampu memilih arah belajarnya sendiri, sehingga memiliki kesempatan untuk menimbang dan membuat keputusan serta menentukan pilihan dan introspeksi diri. Dia akan bergantung pada dirinya sendiri, sehingga kepercayaan dirinya menjadi lebih baik. e. Belajar dan perubahan Prinsip terakhir yang dikemukakan Rogers adalah bahwa belajar paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau peserta didik belajar mengenal fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang didapat di sekolah dirasa sudah cukup untuk kebutuhan saat itu. Tetapi sekarang, tuntutan mengubah pola pikir yang datang setiap waktu. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat mudah dijadikan pegangan untuk mencapai sukses di masa sekarang ini. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan terus akan berubah. Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan. C. PILAR-PILAR PENDIDIKAN Ada enam pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan sebagai prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia pendidikan. 1. Learning to Know Learning to know bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya dengan setepat-tepatnya, sesuai dengan petunjuk’petunjuk yang telah diberikan, namun juga kemampuan dalam memahami makna di balik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan learning to know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transendental, yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual. 2. Learning to Do Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan “omong” (baca: teori), dan kurang menuntun orang untuk “berbuat” (praktek). Semangat retorika lebih besar dari action. Yang dimaksud learn¬ing to do bukanlah kemampuan berbuat mekanis dan pertukangan tanpa pemikiran. Dengan demikian, peserta didik akan terus belajar bagaimana memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga bagai¬mana mengembangkan teori atau konsep intelektualitasnya. 3. Learning to Be Melengkapi learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe berpendapat bahwa manusia itu hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling tergantung dengan manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan masa jika tidak berpegang teguh pada jati dirinya. Learning to be akan menuntun peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya. 4. Learning to Live Together Learning to live together ini merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan dari ketiga poin di atas. Oleh karena itu, premis ini menuntut seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia. 5. Learning How to Learn Sekolah boleh saja selesai, tetapi belajar tidak boleh berhenti. Pepatah, “Satu masalah terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab”, seakan sudab menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena itu, Learning How to Leam akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting ada¬lah mereka yang mampu belajar lebih lanjut. Learning How to Learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari model belajar “memilih” (menghafal) menjadi model belajar “menjadi” (mencari/meneliti). Asumsi yang digunakan dalam model belajar “memiliki” adalah “pendidik tahu”, peserta didik tidak tahu. Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang dipentingkan dalam model belajar “memiliki” ini adalah penerima pelajaran, yang akan menerima sebanyak-banyaknya, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar “menjadi”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik dituntut membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi. 6. Learning Throughout Learn Perubahan dan perkembangan kehidupan berjalan terus menerus yang semakin keras dan rumit. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali harus belajar terus menerus sepanjang hayat. Learning Throughout Life ini menuntun dan memberi pencerahan pada peserta didik bahwa ilmu bukanlah hasil buatan manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari, maka upaya mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti. Bertolak dari butir-butir tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam abad mendatang adalah: pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi paradigma baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kondisi terkini. Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman. Termasuk di sini adalah perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik dan segregatif, serta mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju terwujudnya suatu masyarakat dunia yang damai. Pendidikan untuk perdamaian dunia hanya mungkin terwujud di dalam sua¬tu pendidikan yang dimulai di dalam masyarakat lokal yang berbudaya. Kedua, perlunya perubahan metode penyampaian materi pendidikan. Metode yang kita gunakan selama ini rasanya terlampau banyak menekankan penguasaan informasi untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya, kita hanya mengutamakan manusia yang patuh dan kurang memikirkan terbinanya manusia kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan agama yang eksklusif, dikotomis, dan parsial harus diubah menjadi pendidikan yang inklusif, integralistik, dan holistis. |
AuthorKumpulan Materi Perkuliahan Pasca Sarjana MAP UHAMKA ArchivesCategories |